Jumat 03/09/2010(at cicaheum ciroyom public transportation)
Pagi ini entah mengapa terasa dinginnya menusuk kulitku,kulihat jam dinding hadiah kenaikan kelas di sekolah minggu menunjukkan pk. 05.00 seperti biasa badanku pastinya masih menggeliat menunggu toleransi waktu untuk tidur lagi,hehe.. bukan pemalas, tapi karena efek samping semalem kurang tidur lantaran ikut acara ultah ke-3 angkatanku di SC plus badan terasa pegal masuk angin tentunya, untungnya sebelum mata ini membuka nyokap masuk kamar, dan menyodorkan selimut. Aku sendiri bingung kenapa bukannya bangunin tapi menyodorkan selimut. Padahal kayanya tau kalau aku kuliah jam 7 pagi ini karena ada tambahan kuliah AHT (Analisis Hidraulika Terapan). Badanku si nyaman banget menikmati selimut biru yang biasanya kurasa hangatnya tipis, serasa ga ada bedanya selimut dibandingkan dengan sarung..
Menanti jarum jam dinding menunjukkan pk 05.30 aku melanjutkan tidurku kembali..bangun..dan ritual pagi pun dijalankan, ngepel rumah..mandi,dandan seadanya, dan capcuss kampuss..
Hari ini aku memutuskan untuk olahraga kaki. Jalan lewat jalan tikus yang mengantarkan aku ke depan Jalan Suci, ko bisa ?? yup ...aneh kan, antapani-cicaheum, bisa g tempuh dalam waktu ya kira-kira 10 menit pake ngosngosan, hahaha.. berhubung aku berjalan di pagi hari dan cuaca udara yang dingin jadi badan tak terasa melelahkan. Setiba di depan jalan Suci seperti biasa menunggu angkot jurusan cicaheum ciroyom, angkot yang sudah lama tak kunaiki selama 2 bulan, hijau tua, ada banyak alasan aku suka naik angkot jurusan ini, pertama karena aku tak perlu turun dan berganti ganti jurusan angkot selama perjalanan ke kampus, murah dan menurutku ini merupakan rute yang paling singkat yang bisa aku tempuh dibanding aku mengambil angkot dengan rute yang lain menuju kampusku di ciumbuleuit.
Selalu saja ada cerita yang bisa kudapat selama melintasi rute angkot cicaheum ciroyom. Dulu beberapa semester yang lalu aku pernah seangkot dengan penjual koran, bapa tua yang sudah beruban dengan bawaan yang banyak mungkin kalu dihitung bisa duaratus koran lebih yang beliau bawa di dalam angkot, shock tertegun menatap beliau tak bisa berkata-kata. Beliau duduk tepat di belakang supir angkot yang kunaiki. Sedangkan aku duduk dispot favoritku (ujung dalam kursi deket jendela sebrang bapa tua itu). Tiba-tiba bapa itu mengajak si supir ngobrol. Si supir menanggapi c bapa itu, mungkin menurut si supir beliau enak dijadikan teman bicaranya. Samar-samar dengan seksama aku ikut mengikuti pembicaraannya itu. Terdiam dan berfikir. Bapa itu menceritakan pada si supir kenapa beliau berjualan koran tersebut, kemana, dan bagaimana. Dulu bapa itu berjualan dengan jumlah kecil dari rumah ke rumah, pendapatan memang tidak setara dengan apa yang telah dia lakukan, tapi dya tidak menyerah begitu saja. Dia tetap berusaha menjual koran dengan menambah jumlah koran yang dya jual. Beliau bilang hidup itu harus dengan kerja keras, rezeki orang itu berbeda-beda, mungkin semuanya harus dari hal kecil tapi nanti hasilnya akan memuaskan. Walaupun beliau hanya berjualan koran dan membawanya dengan memikul berpuluh-puluh koran namun beliau memiliki pelanggan –pelanggan yang selalu menantikan beliau mengirimkan koran di pagi hari. Singkat kutakbisa melupakan ceritanya, mungkin 10 menit kebersamaanku di angkot bisa ku katakan memberikan pelajaran yang cukup untuk kehidupanku.
Selain itu, dulu aku pernah duduk di belakang supir angkot. Didepan sebelah supir duduk seorang ibu berpakaian sederhana dan mengajak sang supir ngobrol kebetulan jalanan sedang macet. Dengan cemas aku selalu memperhatikan jam tanganku, cemas telat. Suara si ibu terdengar ditelingaku dengan jelas. Dya bercerita dengan terbuka tentang keluarganya ke supir ini. Ternyata c ibu jualan baso untuk menghidupi dan membiayai sekolah anak-anaknya. Ibu itu bilang dia berhutang sana sini untuk membiayai kehidupan keluarganya dikarenakan sang suami tak mempunyai pekerjaan. Dulu dia bekerja sendiri jualan baso sekarang karena suaminya mau diajak jualan jadi suaminya membantunya untuk menjaga warung basonya. Si supir itu menanggapi cerita c ibu “hidup sekarang ini sangat sulit, tapi Allah selalu punya rencana lain yang baik untuk kita bu. Saya juga susah untuk menghidupi keluarga saya, istri saya dikampung. Saya dikota berusaha untuk mencari uang. Walaupun saya supir tapi saya mencari uang dengan halal, berapun orang memberikan uang angkot saya tidak akan mengeluh, saya menerima apa adanya karena itu berkat buat saya.dibandingkan saya marah hanya karena orang memberikan ongkos yang kurang dan membenci saya lebih baik saya menerima apa yang mereka berikan pada saya” ( wise bener ini bapa....jarang kutemukan supir angkot kaya begini di kota, dimanapun bapa ini berada Tuhan memberkati bapa dan keluarga pa..)
Ada juga waktu aku naik angkot jurusan yang sama, namun ketika dalam perjalanan pulang ke rumah aku seangkot dengan tuna grahita. Pake kacamata hitam dan beliau membawa tongkat aluminium yang sering dipakai oleh kebanyakan tunna grahita lainnya. Hmm...jujur aku tertarik dengan penampilan bapa itu. Sebagai seorang mahasiswi di jurusan teknik mungkin penampilan bukan jadi hal yang utama, begajulan pun jadi hal yang biasa, sepatu sneaker bolong, celana robek, kaos tipis mungkin bagi para mahasiswa pria jadi hal yang wajar. Bahkan ada yang beranggapan semakin kucel kamu semakin “better” kamu. Tapi yang terbesit dikepalaku saat itu adalah perbandingan antara teman-temanku dengan beliau. Aku tertarik memperhatikan bapa itu karena penampilannya yang begitu rapih. Setelan sederhana namun membuatku cukup terkesan. Kemeja panjang putih bersih tersetrika dengan rapih, celana hitam kainnya, dan sepatu kulit hitam mengkilat elegan terpasang dikakinya itu. Tas hitam yang biasa digunakan untuk membawa laptop yang entah apa isinya terselempang dibadannya. Simple tapi.. dia terlihat seperti orang lainnya. Kadang tak habis pikir mengapa teman-temanku tak seperti beliau, tak perlu rapih sedetail itu tapi,,tunjukkanlah kalau kita calon penerus bangsa yang bisa dijadikan sebuah panutan, wibawa.
penampilan memang bukan hal yang terutama namun kebiasaan untuk membiasakan diri bersikap rapih mungkin cocok diterapkan walaupun hanya pergi ke kampus kadang kita seenaknya, kadang ak juga tak memperhatikan hal itu.tapi tau untuk menempatkan kerapihan tepat pada tempatnya merupakan pelajaran yang bisa dijadikan contoh pelajaran buatku.
Hal yang paling membuatku terharu yaitu ketika suatu pagi ditengah perjalananku ke kampus, aku seangkot dengan tuna grahita(berbeda dengan cerita di atas). Angkot ini cukup penuh menurutku. Di Depatiukur, bapa tuna grahita itu menyetop angkot karena dya harus melanjutkan perjalanannya dengan mengganti jurusan angkot yang lainnya. C bapa turun dan dya berdiri menunggu. Angkotku tidak langsung pergi tapi ngetem tak jauh dari bapa itu. Di dalam angkot semua memperhatikan bapa itu, hendak mencari tau apa yang akan beliau lakukan. Aku sudah cemas karena sudah terlambat masuk kelas dan tak sabar sang supir melajukan angkotnya itu. Tak berlapa lama tiba tiba seorang gadis seumuranku turun dari angkot lalu datang menghampiri bapa tadi dan dya mengenggam tangan bapa itu lalu menyebrangkan jalan untuk bapa itu. Tak menyangka perempuan itu peka sekali terhadap lingkungannya..menyesal tentunya kenapa ga daritadi turun dan mengantar bapa itu. Lantaran terlalu lama untuk berfikir apa yang saya pilih dan terlambat untuk membantu sesama. Jangan pernah terlambat untuk peka terhadap sesama dan jagan berfikir untuk menolong orang lain karena alllah kita tak pernah terlambat menolong kita.

Terlalu banyak hal yang kudapatkan dari perjalanan menuju kampus, terutama selama perjalanan bersama si hijau caheum ciroyom. 6 semester kira2 selama 3 tahun aku menempuh perjalanan bersama nya tak kusadari banyak hal yang bisa kudapatkan. Kejadian seperti diatas mungkin hanya sebagian kecil yang bisa kutuliskan, namun banyak hal lainnya yang bisa menggugah hatiku dan menjadikannya sebagai sebuah pengalaman dan moment untuk mengaca pada kehidupanku. Semoga kudapatkan pengalaman indah lainnya bersama sang cicaheum ciroyom.hehehe...